๐๐ผ๐-๐ฑ๐ผ๐-๐ฑ๐ผ๐:
๐๐ป๐ธ๐๐๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ-๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ ๐ ๐ฒ๐น๐ฎ๐๐ฎ๐ป ๐ญ๐ฎ๐บ๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ถ ๐ฆ๐๐บ๐ฎ๐๐ฒ๐ฟ๐ฎ ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐, ๐๐ฏ๐ฎ๐ฑ ๐ซ๐๐ซ & ๐ซ๐ซ
Bendi yang ditarik kuda, atau kuda-bendi, atau dos, atau dokar, mulai populer digunakan di Sumatera Barat ketika โjalan raya mulai bagusโ. Sekurang-kurangnya itu berlangsung setelah memasuki paro kedua abad ke-19, ketika pemerintah Belanda memulai proyek-proyek jalan raya di kawasan ini, dan mencapai puncaknya pada akhir abad tersebut.
Sebelum itu, moda transportasi lebih banyak diperankan oleh kuda tanpa pasangan (baik kuda beban maupun kuda tunggangan) dan buruh/kuli angkut. Sebelum membahas bendi lebih jauh, perlu diuraikan terlebih dahulu perkembangan moda transportasi yang populer sebelum bendi menjadi angkutan massal.
๐๐๐น๐ถ ๐๐ป๐ด๐ธ๐๐ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐๐ฑ๐ฎ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ป
Minangkabau berada di bagian tengah pulau Sumatera. Pusat Minangkabau adalah daerah tiga โluhakโ yang subur. Berada di pedalaman, daratan tinggi (darek) ini dilingkari barisan-barisan pegunungan menjulang yang beberapa di antaranya aktif menyemburkan abu vulkanik. Dengan bentangan alam seperti itu, secara sekilas wilayah ini tampak terisolir dari dunia luar. Tetapi anggapan itu keliru belaka ketika mengetahui bahwa orang Minangkabau memiliki tingkat mobilitas yang tinggi sepanjang kehadiran mereka dalam sejarah.
Mobilitas antara pusat Minangkabau dengan wilayah di luarnya terjadi karena dorongan kultural: etos Minangkabau yang mendorong orang untuk melakukan โpengembaraanโ atau secara lebih populer kemudian dikenal sebagai ‘Merantauโ.
Pada kurun tertentu, etos ini didorong semakin aktif oleh gejolak-gejolak politik. Tetapi, lebih dari itu, mobilitas akan lebih banyak disebabkan oleh stimulus ekonomi. Sepanjang abad ke-16 sampai abad ke-19 , mobilitas itu lebih banyak didorong oleh yang terakhir disebutkan.
Hubungan timbal-balik antara pusat-pusat penghasil komoditas dagang di pedalaman dan pasar-pasarnya di kota-kota pesisir pantai adalah pemicu utama mobilitas orang Minangkabau sepanjang kurun di atas. Daerah pedalaman adalah daerah utama penghasil emas di Sumatera sejak masa yang lebih jauh di belakang, belum lagi karena memiliki tanah yang subur kawasan itu juga menghasilkan komoditas-komoditas penting bagi pasaran dunia, semisal cengkeh dan lada, kopi dan akasia. Sementara pasar-pasarnya yang penting berjejer di sepanjang pesisir pantai, terutama pantai barat. Bandar-bandar utamanya seperti Padang, Pariaman, Tiku dan Air Bangis, menjadi tempat โpengkapalan-pengkapalanโ emas dan hasil-hasil pertanian itu ke pasar dunia. Bandar-bandar itu dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa untuk melakukan transaksi dagang yang di sana pula kongsi-kongsi dagang Eropa bercokol menjalankan praktik ekonominya.
Untuk mendukung mobilitas itu, hubungan ke kota-kota dagang di pantai barat praktis tidak dapat dilakukan lewat jaringan sungai. Penduduk pedalaman Minangkabau hanya dapat memanfaatkan jaringan jalan dagang/jalan setapak menuju ke wilayah rantau pesisir baratnya itu. Karena sungai-sungainya tidak dapat dilayari, angkutan darat lebih berperan di sini, yang sepanjang abad ke-16 hingga ke-19 hanya didominasi pengangkutan menggunakan kuda maupun manusia. Pembicaraan selanjutnya akan lebih difokuskan kepada moda angkutan darat sebagai moda transportasi yang dipakai untuk menghubungkan pedalaman Minangkabau dengan pesisir pantai (kuhusunya pantai barat Sumatera) sebelum paro pertama abad ke-19, tepatnya sebelum bendi diperkenalkan sebagai sarana transportasi massal yang populis.
Pesisir barat Sumatera sendiri mulai ramai dilirik setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada awal abad ke-16.[3] Sebelum itu, perdagangan ke pantai timur lebih menjadi primadona, termasuk bagi orang Minangkabau.
Orang-orang Minangkabau membawa emas dan lada mereka melalui jalur-jalur sungai yang menjalar hingga ke muara-muara Selat Malaka, untuk kemudian diperdagangkan di bandar-bandar pesisir timur seperti Jambi, Palembang, ataupun di Malaka sendiri. Namun, kejatuhan Malaka membuat pantai timur mulai tidak dilirik karena, hal ini mestimulasi tumbuhnya kota dagang baru. Aceh yang terletak di ujung utara [dengan bandar utamanya di sisi pesisir barat] Sumatera mulai bangkit dan menguasai rute dagang, yang kehadirannya menstimulasi pertumbuhan kota-kota dagang di selatannya, termasuk di pesisir barat Minangkabau.
Untuk kasus Minangkabau, pedalaman dan pesisir menjalin hubungan timbal-balik: sebagian besar komoditas ekspor didatangkan dari produksi di pedalaman, sebaliknya sebagian besar barang-barang yang diimpor ke kota-kota pantai dikonsumsi penduduk pedalaman.
Pada periode abad ke-16 hingga awal abad ke-19, hubungan kota-kota pantai barat dan daerah pedalaman itu dilakukan melalui transportasi darat. Prasarananya adalah jaringan jalan setapak. Sebelum pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan jalan raya, setidak-tidaknya terdapat 12 rute jalan setapak yang menghubungkan kota-kota pantai dengan daerah pedalaman, dari ujung utara Minangkabau hingga ke daerah-daerah paling selatan, termasuk ke tanah Batak yang lebih ke utara lagi. Jalan-jalan setapak itu, tulis Asnan, dimanfaatkan sebagai jalan dagang. Orang-orang yang memanfaatkan jalan ini biasanya adalah para saudagar.
Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilalui oleh orang dan kuda beban. Untuk itu, sarana transportasi pada periode ini dimainkan oleh peran kuda dan manusia: peran manusia terepresentasi pada kuli angkut; peran kuda terepresentasi pada kuda-beban & kuda-tunggangan.
Dalam kurun perdagangan pantai, pengangkutan oleh manusia diperankan oleh para kuli angkut. Mereka tidak hanya memanggul barang, tetapi kadang juga memanggul manusia dengan menggunakan tandu. Untuk yang pertama, para kuli itu biasanya membawa barang milik para saudagar. Barang-barang biasanya dibawa dengan cara memikul di atas pundak atau kepala mereka. Asnan mencatat bahwa kuli angkut ini terdiri dari penduduk pribumi dan ada juga dari penduduk Nias. Setiap orang rata-rata bisa membawa barang dengan cara ini seberat 25-30 kg. Sementara untuk yang kedua, diperankan oleh budak-budak belian, yang memanggul tandu-tandu yang digunakan untuk mengangkut raja-raja atau para penghulu.
Di Minangkabau, pada pertengahan abad ke-17 hingga awal abad ke-18, masih ditemukan budak-budak yang menghamba kepada keluarga raja Pagaruyung disebabkan karena mereka melakukan suatu tindakan kejahatan berat seperti melakukan pembunuhan.
Christine Dobbin mencatat, bahwa pada kurun tersebut di dataran tinggi Minangkabau masih sering ditemui budak-budak raja yang menjadi budak karena kejahatannya dan telah dibuang dari keluarganya. Dobbin mencatatkan bahwa terdapat dusun-dusun kecil pemukiman budak di dekat istana Pagaruyung karena pelaku kejahatan yang terhukum lalu mencari perlindungan di istana. Hingga pada dekada awal abad ke-19, di Minangkabau masih ditemukan budak-budak yang menjadi budak karena ditawan atau kalah perang. Budak-budak belian itu dimanfaatkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan. Budak-budak ini adalah tawanan perang yang dibawa dari Batak, sebagai hasil dari penyerangan padri ke utara, ke daerah sekitaran Mandailing dan Angkola. Mereka di antaranya menyerjakan sawah-sawah orang-orang Padri di dataran tinggi Minangkabau atau memikul karavan dagang (sebagai kuli panggul) milik tuanku-tuanku Padri dari dataran tinggi ke pesisir barat, termasuk sebagai tukang panggul tandu.
Selain peran manusia, sarana transportasi yang juga penting pada periode ini adalah kuda. Bagi masyarakat Minangkabau tradisional, kuda menduduki posisi yang terhormat. Binatang satu ini lambang maskulinitasโkeperkasaan dan kekuatan. Penaklukan dan perang dalam sejarah didukung oleh kekuatan kuda. Dalam episteme Minangkabau, representasi kuda adalah Si Gumarang, kuat lagi keramat, yang โmengawalโ keluarga kerajaan dalam perang-perang mereka; misalnya, ikut serta dalam rombongan penjemput Puti Bungsu, membawanya dengan selamat ke Pagaruyung. Gumarang menjadi representasi bagi kekuatan mobilitas.
Di periode perdagangan pantai, kuda menjadi alat transportasi yang penting, baik sebagai kuda beban maupun sebagai kuda tunggangan. Yang pertama untuk mengangkut barang, yang kedua untuk mengangkut manusia/orang. Menurus Asnan, kuda beban bisa mengangkut barang seberat 1 sampa 1,5 kuintal. Sementara kuda tunggangan hanya mungkin mengangkut paling banyak dua orang.
Kuda yang dipakai untuk pengangkutan barang biasanya adalah jenis โkuda sawahโ, kuda dengan postur yang relatif lebih kecil. Kuda kategori ini biasanya sedikit lebih besar dari keledai, sehingga bukan merupakan kuda yang unggul. Sementara sebagai kuda tunggangan, dipakai kuda yang lebih unggul dan kuat dengan postur yang lebih besar, dan tentu saja dengan harga jual yang juga lebih mahal. Kuda ini biasanya untuk ditunggangi kaum elite karena nilainya itu, yang dengan begitu logis belaka jika hanya orang-orang tertentu yang dapat bermobilitas dengan kuda, sementara orang kebanyakan lebih banyak berjalan kaki.
Baik kuda sebagai tunggangan maupun alat angkut barang terus menjadi penting artinya bahkan pada periode awal kolonial, di mana di antaranya digunakan pegawai artileri (officer artilerie) Belanda dalam perang dengan kaum Padri; begitu pun sebaliknya, pasukan Padri juga menggunakan kuda sebagai kendaraan tempur. Selama masa Padri, kuda menjadi kendaraan penting untuk mobilitas selama perangโberpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pada masa ini, โMemelihara ternak lebih2 kuda, diadjarkan dengan seksama, begitu pula mengendarai kuda,โ begitu tertulis dalam buku Minangkabau Tanah Adat, sebuah catatan pelancongan yang ditulis tahun 1955 oleh seorang penulis perempuan bernama Limbak Tjahaja. Bahkan, pasca perang Padri, setelah perang nyaris tidak ada lagi, beberapa kepala negeri, demang, tuanku laras, dan keluarga pembesar pribumi tetap memakai kuda sebagai kendaraan kebesaran. Tidak hanya bagi pribumi, dalam upacara-upacara di Gubernemen, kuda juga menjadi tunggangan bagi pembesar-pembesar Belanda. Kondisi ini setidak-tidaknya terus berlanjut hingga prasarana transportasi semakin baik dengan dibangunnya jalan raya yang lebih bagus yang memungkinkan hadirnya sarana transportasi baru yang lebih efektif untuk pengangkutan barang maupun orang.
๐๐ฎ๐น๐ฎ๐ป ๐ฟ๐ฎ๐๐ฎ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐๐๐ถ๐บ๐๐น๐๐ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐๐๐บ๐ฏ๐๐ต๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ฎ ๐๐ฟ๐ฎ๐ป๐๐ฝ๐ผ๐ฟ๐๐ฎ๐๐ถ
Proyek jalan tidak dimulai secara besar-besaran sebelum abad ke-19. Sebelum abad itu, untuk menghubungkan antar daerah yang jauh, hanya terdapat โjalan dagangโ, jalan setapak kecil, sebagai yang telah disinggung juga di muka. Lewat jalan itulah, mobilitas orang dan barang berlangsung. Kondisi jalan yang tidak memadai (belum dikeraskan atau tidak cukup lebar) hanya memungkinkan perjalanan dan pengangkutan ditempuh dengan kuda (beban maupun tunggangan) dan kuli angkut.
Proses kolonial-lah yang kemudian menumbuh-kembangkan jalan raya; yang berhasil โmenyatukanโ nagari yang terpecah-pecah itu ke dalam satu otoritas tunggal bernama kekuasaan kolonial. Dan itu dimulai pada awal abad ke-19, ketika pemerintah kolonial Belanda memasuki daratan tinggi Minangkabau untuk terlibat dalam perseteruan dengan kaum Padri, yang dalam sejarah dikenal sebagai Perang Padri. Asnan, dalam artikel lain, menulis bahwa untuk mendukung gerak-laju (mobility) tentara Belanda dalam Perang Padri, dibutuhkan pembangunan/ perbaikan jalan. Gubernur Johannes van den Boschโs datang ke Sumatera Barat pada 1833 dan mencanangkan pembangunan jalan yang luas. Untuk memuluskan โperjalananโ menuju kemenangan dalam Perang Padri, van den Boschโs meminta elit-elit lokal untuk membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan kota utama, Padang dengan kota-kota satelitnya. Selama dan setelah Perang Padri, orang-orang diarak Belanda pergi berrodi untuk membangun jalan-jalan raya itu. Nagari-nagari hampir seluruhnya dapat jatah dan tanggungjawab memenuhi kouta rodi. Datuk-datuk berperan sebagai โtukang arakโ, jika ada kemenakan yang mangkir rodi, akan didenda atau dipasebankan (dipenjara). Suatu praktik yang nyaris dapat diramalkan tidak akan dapat terlaksana pada masa sebelum itu karena ketiadaan otoritas tunggal.
Hubungan dengan Padang Panjang lewat Lembah Anai dibangun di atas jalan dagang, jalur dagang tradisional yang pernah ada. Pembangunannya dimulai 1833 dan diselesaikan pada 1841. Di periode yang sama, pemerintah juga membangun jalan yang menghubungkan antara Pandang Panjang dan Bonjol via Padang Luar dan Matue. Dari Padang Luar pembangunannya diteruskan ke Bukittinggi dan Payakumbuh. Kota yang pertama disebutkan adalah pusat militer kolonial Belanda di Daratang Tinggi, sementara yang terakhir adalah pusat aktivitas ekonominya.
Pada pertengahan 1830an, dari pesisir utara Padang telah terbentang jalan ke Pariaman, Tiku , Maninjau dan Matueyang bertemu dengan jalan Padang-Panjang ke Bonjol. Sementara untuk rute Solok-Alahan Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batu Sangkar and Buo, and Air Bangis-Lundar, mulai dikerjakan dalam proyek pembangunan jalan tahap kedua, dimulai pada 1844 dan diselesaikan pada 1860. Para periode ini, pemerintah juga membangun rumah-rumah peristirahatan (rest houses) bagi para pejalan dan juga sebagai tempat menyegarkan kuda (fresh horses) untuk kuda beban.
Seiring pertumbuhan pesat jalan raya inilah, variasi moda transportasi pun tumbuh. Kuli angkut dan kuda beban masih populer, tetapi pedati dan bendi menjadi primadona baru moda transportasi. โ๐๐ฏ ๐ข๐ฅ๐ฅ๐ช๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ ๐ต๐ฐ ๐ค๐ฐ๐ฐ๐ญ๐ช๐ฆ๐ด ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ฑ๐ข๐ค๐ฌ๐ฉ๐ฐ๐ณ๐ด๐ฆ๐ด, ๐ฐ๐ต๐ฉ๐ฆ๐ณ ๐ฑ๐ฐ๐ฑ๐ถ๐ญ๐ข๐ณ ๐ฎ๐ฆ๐ข๐ฏ๐ด ๐ฐ๐ง ๐ต๐ณ๐ข๐ฏ๐ด๐ฑ๐ฐ๐ณ๐ต ๐ข๐ต ๐ต๐ฉ๐ข๐ต ๐ต๐ช๐ฎ๐ฆ ๐ธ๐ฆ๐ณ๐ฆ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ฃ๐ถ๐ง๐ง๐ข๐ญ๐ฐ-๐ฅ๐ณ๐ข๐ธ๐ฏ ๐ค๐ข๐ณ๐ต (๐ฑ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ต๐ช) ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ต๐ธ๐ฐ๐ธ๐ฉ๐ฆ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฅ ๐ค๐ข๐ณ๐ณ๐ช๐ข๐จ๐ฆ (๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช),โ begitu tulis Asnan lagi. Sekalipun kepopuleran keduanya juga punya jangka waktu, yang mana di masa-masa kemudian, moda transportasi modern yang berasal dari dunia maju perlahan-lahan juga merengsek masuk ke Sumatera Barat, terutama mobil dan kererta api, menggantikan yang tradisional. Bagaimana moda transportasi modern menggeser peran bendi sebagai moda transportasi tradisional, hal itu akan dibicarakan lebih jauh pada bagian di muka. Bagian berikut akan lebih dulu mengelaborasi bagaimana bendi tumbuh menjadi moda transportasi massal yang populer di mana terlebih dahulu didahului sebagai moda transportasi kalangan elite/kalangan terbatas.
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐๐บ๐ฏ๐๐ต๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐ถ๐ผ๐ฑ๐ฒ ๐ฎ๐๐ฎ๐น: โ๐ฃ๐ฎ๐ธ๐ฎ๐ถ๐ฎ๐ปโ ๐ธ๐ฎ๐น๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฒ๐น๐ถ๐๐ฒ
Dibandingkan bendi, pedati adalah moda transportasi yang lebih utama pada periode ini. โ๐๐ญ๐ญ ๐ฐ๐ง ๐ต๐ฉ๐ฆ๐ด๐ฆ ๐ณ๐ฐ๐ข๐ฅ๐ด ๐ค๐ฐ๐ถ๐ญ๐ฅ ๐ฃ๐ฆ ๐ถ๐ด๐ฆ๐ฅ ๐ฃ๐บ ๐ฑ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ต๐ช (๐ฃ๐ถ๐ง๐ง๐ข๐ญ๐ฐ-๐ฅ๐ณ๐ข๐ธ๐ฏ ๐ค๐ข๐ณ๐ต๐ด). ๐๐ฉ๐ฆ ๐ข๐ช๐ฎ ๐ฐ๐ง ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ณ๐ฐ๐ข๐ฅ ๐ฏ๐ฆ๐ต๐ธ๐ฐ๐ณ๐ฌ ๐ธ๐ข๐ด ๐ต๐ฐ ๐ง๐ข๐ค๐ช๐ญ๐ช๐ต๐ข๐ต๐ฆ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ญ๐ฐ๐จ๐ช๐ด๐ต๐ช๐ค๐ด ๐ฐ๐ง ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐๐ถ๐ต๐ค๐ฉ ๐ด๐ช๐ฆ๐จ๐ฆ ๐ฐ๐ง ๐๐ฐ๐ฏ๐ซ๐ฐ๐ญ, ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ค๐ฆ๐ฏ๐ต๐ณ๐ฆ ๐ฐ๐ง ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐๐ข๐ฅ๐ณ๐ช,โ tulis Asnan pula. Dalam artikelnya, Asnan berbicara lebih panjang lebar mengenai pedati; jalur yang dilewati pedati, sais, hingga, jumlah bayaran tiap ton yang diterima. โ๐๐ฆ๐ฅ๐ข๐ต๐ช ๐ฅ๐ณ๐ช๐ท๐ฆ๐ณ๐ด ๐ต๐ณ๐ข๐ท๐ฆ๐ญ๐ญ๐ฆ๐ฅ ๐ช๐ฏ ๐จ๐ณ๐ฐ๐ถ๐ฑ๐ด, ๐ธ๐ช๐ต๐ฉ ๐ง๐ฐ๐ณ ๐ช๐ฏ๐ด๐ต๐ข๐ฏ๐ค๐ฆ ๐ค๐ฐ๐ฐ๐ญ๐ช๐ฆ๐ด ๐ข๐ฏ๐ฅ ๐ฑ๐ฆ๐ฐ๐ฑ๐ญ๐ฆ ๐ญ๐ฆ๐ข๐ฅ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ข๐ค๐ฌ๐ฉ๐ฐ๐ณ๐ด๐ฆ๐ด. ๐ ๐ต๐ณ๐ช๐ฑ ๐ถ๐ด๐ถ๐ข๐ญ๐ญ๐บ ๐ด๐ต๐ข๐ณ๐ต๐ฆ๐ฅ ๐ซ๐ถ๐ด๐ต ๐ข๐ง๐ต๐ฆ๐ณ ๐ฅ๐ข๐ธ๐ฏ, ๐ข๐ต ๐ข๐ฃ๐ฐ๐ถ๐ต 5 ๐ฐ๐ณ 6 ๐ข.๐ฎ. ๐๐ณ๐ข๐ท๐ฆ๐ญ๐ญ๐ช๐ฏ๐จ ๐ช๐ฏ ๐จ๐ณ๐ฐ๐ถ๐ฑ๐ด ๐ณ๐ฆ๐ฅ๐ถ๐ค๐ฆ๐ฅ ๐ต๐ฉ๐ฆ ๐ณ๐ช๐ด๐ฌ ๐ฐ๐ง ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐บ,โ tulisnya mengutip Kielstra (1886). Tetapi Asnan nyaris tidak mengelaborasi apa pun tentang bendi, sekalipun dia sempat mencatatnya sekali sebagai salah satu alat transportasi populer (bersama pedati) pada periode abad ke-19 yang menjadi fokus temporal pembicaraannya.
Di kurun Tanam Paksa Kopi, masuk akal belaka jika pedati menjadi lebih penting, karena memang daya angkutnya yang besar, mampu mengangkut 8-10 pikul (500-620 kg) muatan. Sementara bendi adalah alat angkut manusia, bukan alat angkut komoditi dagang sebagaimana pedati, sekalipun terkadang masing-masing juga mengangkut kedua jenis โpenumpangโ itu ketika dibutuhkan. Bendi tidak banyak disebut karena bukan merupakan moda transportasi untuk pengangkutan barang dalam jarak yang jauh pula, sementara penglihatan Asnan tampak lebih cendrung melirik bagaimana keterkaitan pertumbuhan perdagangan dengan moda transportasi, di mana pedati akan lebih berperan untuk itu.
Cikal bakal bendi di Minangkabau mungkin adalah bugi. Bugi merupakan kereta tanpa tingkap yang ditarik kuda, mungkin diciptakan agar dapat mengangkut penumpang lebih banyak dari sekedar kuda tunggangan. Bugi hadir sebagai moda transportasi kalangan elite, sehingga terkesan mewah lagi eksklusif. Hanya kalangan-kalangan tertentu saja yang memiliki bugi. Bugi dijadikan lambang status para pemiliknya. Untuk itu, bugi cendrung menjadi kendaraan pribadi ketimbang massal. Moehammad Hatta, misalnya, yang berasal dari kalangan elite Minangkabau, berpose di atas sebuah โbugiโ milik keluarganya pada 1912. Di bawah foto itu, yang termuat dalam memoirnya, Hatta menulis keterangan: โAku waktu berumur 10 tahun, naik โBugiโ di halaman rumah hendak pergi ke sekolahโ.
Belum dapat dilacak sejauh ini, bagaimana kemudian bugi ditinggalkan, dan mengalami โmodifikasiโ menjadi bendi. Bendi, kereta yang ditarik kuda juga, tetapi keretanya memiliki tingkap, mungkin saja telah menggantikan bugi, atau setidak-tidaknya mengalahkan kepopuleran bugi sehingga menyebabkan bugi menjadi โbarang antikโ.
Pengarang lagu mengenangnya sebagai โbugi lamoโ, merepresentasikan โkeberlaluannyaโ. Sementara bendi (yang juga ditarik kuda) menjadi semakin populer, sekalipun pada awalnya juga sebagai โpakaianโ kalangan elite.
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ธ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐บ๐ผ๐ฑ๐ฎ ๐๐ฟ๐ฎ๐ป๐๐ฝ๐ผ๐ฟ๐๐ฎ๐๐ถ ๐บ๐ฎ๐๐๐ฎ๐น, ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐ฎ๐ธ๐ต๐ถ๐ฟ ๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ฑ ๐ธ๐ฒ-๐ญ๐ต ๐ต๐ถ๐ป๐ด๐ด๐ฎ ๐ญ๐ต๐ฏ๐ฌ๐ฎ๐ป:
Kepopuleran bendi sebagai moda transportasi massal terjadi seiring tumbuhnya kota-kota kolonial dan [terutama, sebagaimana telah juga disinggung sebelum ini] setelah jalan raya berkembang dengan pesat pada akhir abad ke-19 di Sumatera Barat. Bendi menjadi primadona di kota-kota besar kolonial seperti Padang, Bukittingi, dan Payakumbuh. Pada 1892, misalnya, di Bukittinggi hanya terdapat 125 bendi; tetapi berkembang nyaris empat kali lipat pada tahun 1904 sehingga menjadi 531 bendi. Di Payakumbuh hanya ada 33 bendi tahun 1885, tetapi angka itu telah jauh melonjak menjadi 969 tahun 1903, dan terus bertambah hingga menjadi 1.200 pada tahun 1904. Di kota-kota tersebut, terdapat terminal bendi, artinya pemerintah kolonial tampak memberi perhatian terhadap moda transportasi jenis ini. Pada kurun ini, bendi tidak hanya melayani rute dekat dari pasar ke pasar di kota-kota penting kolonial, tetapi bahkan juga melayani rute perjalanan yang jauh menuju ke pesisir pantai. Bendi bahkan bisa melewati jalan-jalan dengan kontur yang ekstrim seperti jalur menanjak di Lembah Anai dan jalur menanjak dari Padangpanjang ke Solok Selayo.
Pada periode yang bersamaan sesungguhnya angkutan mobil dan kereta api juga telah mulai tumbuh. Dimulai sama-sama sejak akhir abad ke-19, keduanya telah saling bersaing merebut hati masyarakat pengguna transportasi.
Mobil telah didatangkan dari Singapuran pada 1896. Mengenai pertumbuhan mobil, catatan sejarah mengatakan bahwa pada awal 1920an telah terdapat lebih dari 3000 angkutan mobil di Sumatera Barat. Pada akhir dasawarsa yang sama jumlah mobil telah mencapai angka 7000. Angkutan mobil juga tumbuh seiring terus tumbuhnya jalan raya. Parada Harahap yang melakukan perjalanan ke Sumatera Barat pada 16-20 Oktober 1925 memberikan laporan bahwa โ๐ฐ๐ถ๐ต๐ฐ-๐ฐ๐ถ๐ต๐ฐ ๐ด๐ฆ๐ธ๐ข๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ซ๐ฐ๐ฆ๐ฎ๐ญ๐ข๐ฉ๐ฏ๐ซ๐ข ๐ฃ๐ฐ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฅ๐ช๐ฌ๐ช๐ต ๐ฅ๐ช๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ฏ-๐ด๐ข๐ฃ๐ข๐ฏ ๐ด๐ต๐ข๐ต๐ช๐ฐ๐ฏ, ๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข ๐ฅ๐ซ๐ช๐ฌ๐ข ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ด๐ข๐ฏ๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ฐ๐ฆ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ฐ๐ง๐ง๐ฆ๐ณ ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ๐ข๐ต ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ๐ข๐ฏ, ๐ฏ๐ช๐ด๐ต๐ซ๐ข๐ซ๐ข ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฅ๐ช๐ต๐ฆ๐ณ๐ช๐ข๐ฌ๐ช ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ด๐ฐ๐ฆ๐ฑ๐ช๐ณ-๐ด๐ฐ๐ฆ๐ฑ๐ช๐ณ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ญ๐ฐ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข-๐ญ๐ฐ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ซ๐ข๐ณ๐ช ๐ฎ๐ฐ๐ฆ๐ข๐ต๐ข๐ฏ๐ฏ๐ซ๐ข.โ Menurut Parada: โ๐๐ข๐จ๐ฐ๐ฆ๐ด๐ฏ๐ซ๐ข ๐ข๐ถ๐ต๐ฐ ๐ฑ๐ฐ๐ฆ๐ฏ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ฐ๐ฆ๐ด ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ฐ๐ฆ๐ฅ๐ซ๐ช ๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฑ๐ข ๐ข๐ถ๐ต๐ฐ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ข๐จ๐ฐ๐ฆ๐ด ๐ช๐ต๐ฐ๐ฆ ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ช ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฐ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ฐ๐ฆ๐ฌ ๐ต๐ข๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ-๐ฌ๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช ๐ช๐ด๐ช ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ณ๐ฐ๐ฆ๐ฑ๐ข ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ, ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ, ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ, ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ข๐จ๐ข๐ช๐ฏ๐ซ๐ข.โ
Pada periode yang nyaris bersamaan kemuculannya dengan mobil, seiring ditemukannya batubara di Ombilin-Sawahlunto, kereta api juga hadir sebagai sarana transportasi baru di Sumatera Barat. Untuk memperlancar pengiriman batubara ke luar Sumatera Barat, pemerintah kolonial membangun jaringan kereta api dari Sawahlnto ke Emma Haven di selatan Padang. Kemudian, jalur itu diteruskan, sampai ke kota-kota penting Sumatera Barat lainnya, seperti Sijunjung, Pariaman, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Keberadaan jalan kereta api ini menjadi โdorongan besar bagi arus orang dan barang antara Padang dengan pusat-pusat penduduk di daratan tinggi,โ begitu tulis Colombijn.
Namun, dibanding naik kereta api, naik mobil relatif lebih murah ongkosnya. Jarak tempuh Padang-Padangpanjang, misalnya, untuk naik mobil penumpang hanya membayar 2,5 Gulden untuk satu orang. Sementara kereta api dengan tiket kelas satu penumpang bisa membayar 3, 2 Gulden untuk jarak yang sama. Untuk tiket kelas dua memang lebih murah dibanding dengan memakai mobil, hanya 1,74 Guldan, tetapi setelah dihitung-hitung dengan ongkos dari stasiun ke rumah atau sebaliknya, โsoedah djadi melebihiโ 3 Gulden. Dengan perbandingan biaya perjalanan seperti demikian, Parada mencatat, โโฆ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฉ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฆ๐ฃ๐ช๐ฉ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข๐ช ๐ฐ๐ถ๐ต๐ฐ โฆ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฅ๐ช๐ด๐ฐ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฆ๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ข๐ฅ๐ซ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฉ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฌ๐ช ๐ฅ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฌ๐ช๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฐ๐ฆ๐ญ๐ข ๐ฃ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ด๐ฐ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฆ๐ฉ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ข ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ช๐ฏ๐จ๐ช๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ช, ๐ฃ๐ฐ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ข๐ฅ๐ขโ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ต๐ข-๐ข๐ฑ๐ชโ.
Kehadiran mobil maupun kereta api memang telah mengejala dalam masyarakat Sumatera Barat setidaknya hingga 1930, sebelum depresi ekonomi melanda dunia. Tetapi, itu tidak lantas menggantikan peran bendi sebagai moda transportasi. Harus pula diingat bahwa mobil maupun kereta api dipergunakan orang untuk perjalanan jarak jauh, sementara untuk perjalanan jarak pendek orang lebih memilih naik bendi saja, sekalipun tidak jarang juga melayani rute-rute jarak jauh juga.. Hal ini di antaranya disebabkan karena pada kasus kereta api, misalnya, kereta api telah memiliki rute-rute yang tetap dari stasiun ke stasiun yang relatif berada dekat dengan daerah perkotaan, sehingga tidak bisa melayani jalur-jalur di luar rute itu, artinya tidak bisa menjangkau daerah-daerah yang relatif jauh dari stasiunnya. Jika pun orang menggunakan kereta api, tetapi pengangkutan dari tempat bertolak/tempat tinggal ke stasiun atau sebaliknya masihlah menggunakan bendi. Sementara untuk kasus mobil, pada kurun awal ini mobil masih merupakan sarana transportasi eksklusif, digunakan kebanyakan oleh kalangan saudagar, sehingga ongkos mobil dapat dikatakan masih relatif mahal untuk kantong kebanyakan pribumi. Selain itu, mobil belum melayani rute-rute jarak pendek dari kampung ke kampung, karena rute mobil hanya menempuh jalan-jalan raya, sementara lebih banyak lagi daerah-daerah terutama kampung-kampung yang tidak berada di pinggir jalan raya, atau belum tersentuh pembangunan jalan raya yang memadai. Oleh sebab itu, jikapun mobil yang dipilih untuk perjalanan jauh, alat angkut dari rumah/tempat tinggal menuju terminal atau tempat pemberhentian di jalan raya masihlah menggunakan bendi.
Untuk kasus Payakumbuh sendiri pada periode ini, telah ada rute mobil tambangan/angkutan dan kereta api. Parada mencatat, pada 1925, dari Bukittinggi ke Payakumbuh dapat ditempuh dengan kereta api dan mobil, dengan sewa yang tidak jauh berbeda, tidak sampai 2 Gulden. Parada tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana atau dengan perhubungan antar kampung dalam daerah Payakumbuh itu sendiri terjalin. Payakumbuh, kata Parada, pasarnya dikunjungi tidak kurang โ30.000 ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ฐ๐ฆ๐ด๐ช๐ข.โ Pasar Payakumbuh โ๐ฑ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ข๐ญ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ข๐ฏ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฐ ๐๐ถ๐ฎ๐ข๐ต๐ฆ๐ณ๐ข ๐๐ข๐ณ๐ข๐ตโ. ๐๐ณ๐ข๐ฏ๐จ-๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช โ๐ด๐ฆ๐จ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฑ 50 ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข, ๐ฎ๐ข๐ด๐ช๐ฏ๐จ-๐ฎ๐ข๐ด๐ช๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ธ๐ข ๐ฅ๐ข๐จ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐ฏ๐ซ๐ข, ๐ฉ๐ข๐ด๐ช๐ญ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฃ๐ฐ๐ฏ๐ฏ๐ซ๐ข, ๐ฅ๐ช๐ด๐ข๐ฏ๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ซ๐ฐ๐ฆ๐ข๐ญ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ฐ๐ฆ๐ข๐ญ ๐ฌ๐ฆ๐ฉ๐ข๐ด๐ช๐ญ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ซ๐ฐ๐ฆ๐ข๐ญ, ๐ฅ๐ช๐ฃ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ, ๐ฅ๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฌ๐ช๐ข๐ฏ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ข๐ด๐ช๐ฏ๐จ-๐ฎ๐ข๐ด๐ช๐ฏ๐จ ๐ด๐ข๐ต๐ฐ๐ฆ ๐ด๐ข๐ฎ๐ข ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ด๐ข๐ฎ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ญ๐ฐ๐ฆ, ๐ฉ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ช๐ต๐ฐ๐ฆ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฅ๐ช ๐ณ๐ข๐ฎ๐ข๐ช.โ ๐๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ข๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฐ๐ฃ๐ช๐ญ๐ช๐ต๐ข๐ด ๐ฌ๐ฆ ๐๐ข๐บ๐ข๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช โ๐ด๐ฆ๐จ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฑ 50 ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ขโ itu berlangsung. Parada tidak menjelaskannya, tetapi sudah dapat diduga bahwa mobilitas itu menggunakan bendi sebagai moda utamanya.
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ธ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ ๐ฝ๐ฎ๐ฑ๐ฎ ๐บ๐ฎ๐๐ฎ ๐ฎ๐ธ๐ต๐ถ๐ฟ ๐ธ๐ฒ๐ธ๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐ธ๐ผ๐น๐ผ๐ป๐ถ๐ฎ๐น ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ ๐ต๐ถ๐ป๐ด๐ด๐ฎ ๐ฎ๐๐ฎ๐น ๐ธ๐ฒ๐บ๐ฒ๐ฟ๐ฑ๐ฒ๐ธ๐ฎ๐ฎ๐ป ๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ
Sudah kita lihat bahwa setidak-tidaknya menjelang pecah Perang Dunia II, mobil sewaan atau outobus memang tumbuh dengan ramai. Pada 1930an, misalnya, โterdapat beberapa buah perusahaan gabungan otobis partikelir kepunjaan bangsa Indonesia dan bangsa lainnja.” Namun, setelah Perang Dunia II pecah, sebagian kendaraan-kendaran itu tidak digunakan sebagai alat angkut lagi, tetapi digunakan oleh pemerintah Belanda untuk โkepentingan siasat dan pertahanannyaโโ yaitu untuk mengangkut para anggota militer dan alat-alat perang dari satu daerah ke daerah lain.
Karena digunakan untuk alat angkut militer, maka ketika Jepang akhirnya menyerbu, banyak kendaraan-kendaraan itu yang hancur karena menjadi sasaran serangan bom Jepang. Selain itu, banyak juga kendaraan-kendaraan itu yang dihancurkan sendiri oleh Belanda untuk tujuan โsiasat bumi hangusโโagar tidak dapat dimanfaatkan oleh militer penakluk.
Oleh sebab itu, selama periode Jepang angkutan mobil dapat dikatakan tidak lagi berfungsi, yang dengan begitu bendi sebagai alat angkut terutama orang semakin banyak digunakan. Sebuah foto dari periode Jepang menujukkan keramaian terminal bendi di Fort de Kock. Apalagi, para periode ini, โbahwa dizaman pendudukan tentara Djepang, didaerah Sumatera Tengah, didapati sangat sedikit sekali oto pengangkut kepunjaan rakyat. Dan oto-oto jang masih ada, digabungkan oleh militer Djepang dalam suatu gabungan semi djawatan militer Djepang.
Keadan ini tidak jauh berubah setelah Indonesia merdeka pada 1945. Sekalipun telah dibentuk oleh pemerintah sebuah badan yang diberi nama POLL (Perusahaan Oto Lalu Lintas yang kemudian menjelma menjadi Pedjabat Lalu Lintas, yang tidak lama setelah itu berdiri pula PON Ste. (Perusahaan Oto Negara di Sumatera Tengah, Tujuan jawatan itu untuk dibentuk adalah untuk keperluan mengangkut barang-barang keperluan pemerintah. Bersamaan dengan itu dibentuk pula oleh pemerintah โsuatu badan pengangkutan jang diberi bernama dengan D.A.M.R.I. (Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia)โ. Namun, semua itu tidak banyak membantu.
Di tengah kondisi darurat masa perang, โ๐ฐ๐ต๐ฐ-๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ฃ๐ช๐ด ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข ๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ญ ๐ฃ๐ฆ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฑ๐ข ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฃ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ณ๐ถ๐ด๐ข๐ฌ, ๐ฃ๐ข๐ช๐ฌ ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ฉ๐ข๐ฏ-๐ฃ๐ข๐ฉ๐ข๐ฏ๐ฏ๐ซ๐ข (๐ฐ๐ฏ๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฏ) ๐ฎ๐ข๐ถ๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐ข๐ฌ๐ช๐ฃ๐ข๐ต ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข๐ช๐ข๐ฏ ๐ข๐ญ๐ข๐ต ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฌ๐ข๐ณ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ตโ. Lebih lanjut dicatatkan: โMasa antara pendudukan Djepang dengan penjerahan kedaulatan, dalam lapangan lalu lintas di Sumatera Tengah hanya dipakai tjikar (pedati) dan oleh sado (bendi), karena oto-oto jang masih tinggal hanya dipakai untuk keperluan Angkatan Perang dan Pemerintah sadja.โ
Pada kurun inilah, Marzuki Sutan Bagindo, mantan Walinagari Kamang, pada 1946 merantau ke Payakumbuh, dengan membawa bendi 3 pasang, berkandang di Labuah Basilang. Bendi-bendi itu dicarikan kusirnya, orang-orang Payakumbuh sendiri yang mau bekerja kepadanya. Rutenya, Pasar Payakumbah โ Batang Tabik, Pasar Payakumbuh โ Limbukan, Pasar Payakumbuh โ Taram, dengan ongkos 20 rupiah.
Pada kurun tersebut, banyak sekali juragan bendi, belasan orang. Beberapa nama penguasa bendi pada masa itu, di antaranya, selain Marzuki, ada Amid Kayo, Karumin, dan beberapa keturunan Cina sepanjang Labuah Basilang hingga Batang Agam.
Sistem penggajian bendi, sistem setoran kepada pemilik bendi. Tabiat kusir bendi dikonotasikan buruk, tidur di kandang kuda, tidak jarang memelihara โanakโ jawiโ, anak-anak yang bertugas membantu si kusir menyabit rumput dan memandikan kuda. Kusirlah yang menggajinya, bukan si pemilik kuda.
Bendi-bendi sempat tidak berorepasi ketika Agresi Militer berlangusung, di mana orang-orang mengungsi. Marzuki dan keluarganya, misalnya, pada 1948-1949, mengungsi ke Sikabu-kabu, yang dengan otomatis usaha bendinya tidak berjalan. Tetapi setelah Agresi Militer usai, usaha bendinya beroperasi seperti semula. Usahanya bahkan terus berkembang. Pada 1950-1953, misalnya, bendi-bendi Marzuki telah bertambah menjadi belasan buah. โPayakumbuh rajo bendi!โ kata anak Marzuki, Rusli Marzuki Saria.[38] โRata-rata transportasi pada kurun itu bendi!โ. Sepanjang jalan Koto nan Ampek, banyak pandai besi pembuat bendi pada kurun ini. Di samping itu, ada juga yang membeli bendi ke Padang, di daerah Lubuak Aluang terkenal sebagai daerah pembuat bendi yang bermutu tinggi.[39]
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐๐บ๐ฏ๐๐ต๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐ป๐ฑ๐ถ ๐๐ฒ๐๐ฒ๐น๐ฎ๐ต ๐ญ๐ต๐ฑ๐ฌ๐ฎ๐ป: โ๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐ถ๐ป๐ด๐ฎ๐ปโ ๐ฑ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ผ๐๐ผ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฝ๐๐ฟ
Setelah revolusi kemerdekaan berakhir pada 1950, moda transportasi tumbuh dengan lebih baik. Kekuarangan-kekurangan semala perang kemerdekaan segera dapat diperbaiki oleh pemerintah, dengan memberikan โsurat izin pembelian oto oleh prioriteits-commissi kepada perusahaan-perusahaan oto partikelirโ. Dengan kebijakan itu, perlahan-lahan kesibukan di jalan-jalan raya Sumatera Tengah dipulihkan kembali, perusahaan-perusahaan bis mulai berkembang dan mobil-angkutan perlahan-alah bertumbuh.
Pada 1950, di Sumatera Tengah terdapat โsebanjak 70 buah perusahaan atau pergabungan oto bis. 70% di antaranya adalah milik bangsa Indonesia dan 25% jang lainnja dimiliki bangsa asing.
Lebih lanjut dilaporkan: โ๐๐ฆ๐ฏ๐ถ๐ณ๐ถ๐ต ๐ต๐ซ๐ข๐ต๐ข๐ข๐ฏ, ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ธ๐ข๐ฌ๐ต๐ถ ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ช ๐๐ถ๐ฎ๐ข๐ต๐ฆ๐ณ๐ข ๐๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฉ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ต 32 ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ต๐ณ๐ข๐ซ๐ฆ๐ค๐ต ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ต๐ช๐ข๐ฑ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช ๐ฅ๐ช๐ญ๐ข๐ญ๐ถ๐ช ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฐ๐ต๐ฐ-๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ฃ๐ช๐ด ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ถ๐ต ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ข ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ช๐ด๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ช๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ถ๐ต๐ฏ๐ซ๐ข. ๐๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข ๐ช๐ฃ๐ถ ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐๐ณ๐ฐ๐ท๐ช๐ฏ๐ด๐ช (๐๐ถ๐ฌ๐ช๐ต๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช) ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข-๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต-๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ด๐ฆ๐ญ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ณ๐ฐ๐ท๐ช๐ฏ๐ด๐ช ๐ช๐ฏ๐ช ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ต ๐ฅ๐ช๐ญ๐ข๐ญ๐ถ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ญ๐ช. ๐๐ข๐ฏ๐ซ๐ข ๐ด๐ฆ๐ธ๐ข๐ฌ๐ต๐ถ-๐ธ๐ข๐ฌ๐ต๐ถ ๐ฅ๐ช๐ฎ๐ถ๐ด๐ช๐ฎ ๐ฉ๐ถ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฏ, ๐ฃ๐ฆ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฑ๐ข ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ช๐ข๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข ๐ต๐ณ๐ข๐ซ๐ฆ๐ค๐ต ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ช๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ข๐ฌ๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ต๐ถ๐ต๐ถ๐ฑ ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ต๐ข๐ณ๐ข,โ
โ๐๐ฆ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐ซ๐ข 366 ๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ฃ๐ช๐ด ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ด๐ฆ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ต๐ซ๐ข๐ณ ๐ฉ๐ช๐ญ๐ช๐ณ ๐ฎ๐ถ๐ฅ๐ช๐ฌ ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ญ๐ถ๐ณ๐ถ๐ฉ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ณ๐ข๐ซ๐ข ๐ฅ๐ช ๐๐ถ๐ฎ๐ข๐ต๐ฆ๐ณ๐ข ๐๐ข๐ณ๐ข๐ต ๐ด๐ข๐ฅ๐ซ๐ข ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ข๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ข๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต. ๐๐ฆ๐ต๐ช๐ข๐ฑ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ๐ฏ๐บ๐ข ยฝ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฎ, ๐๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐๐ถ๐ฌ๐ช๐ต๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ 7๐ข-8 [๐ด๐ช๐ค!] ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ถ๐ด๐ข๐ฉ๐ข๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ฆ๐ฅ๐ช๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ต๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ฌ๐ถ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช 75 ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ฃ๐ช๐ด. ๐๐ถ๐ฌ๐ช๐ต๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ซ๐ข๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฅ๐ช๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ต๐ซ๐ข๐ณ๐ข ๐ญ๐ข๐ฏ๐จ๐ด๐ถ๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ข๐ญ๐ช ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ 30 ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ต ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ 4 ๐ข 5 ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐จ๐ข๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ต๐ฐ.๐๐ถ๐ข ๐ด๐ข๐ฎ๐ฑ๐ข๐ช ๐ต๐ช๐จ๐ข ๐ฌ๐ข๐ญ๐ช ๐ด๐ฆ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ฃ๐ช๐ด ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ธ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ถ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ฆ ๐๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ณ๐ถ, ๐ฌ๐ฆ ๐๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ต ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐๐ช๐ข๐ถ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ ๐๐ถ๐ข๐ณ๐ฐ ๐๐ฆ๐ฃ๐ฐ ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐๐ซ๐ข๐ฎ๐ฃ๐ช, ๐ฃ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ฎ ๐ญ๐ข๐จ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฉ๐ช๐ต๐ถ๐ฏ๐จ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข-๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ, ๐๐ข๐ซ๐ข๐ฌ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฉ, ๐๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ ๐๐ข๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ต๐ถ ๐๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ณ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข-๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐ช๐ต๐ถ. ๐๐ข๐ณ๐ช ๐๐ถ๐ฌ๐ช๐ต๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช ๐ฌ๐ฆ ๐๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ณ๐ถ ๐ฅ๐ช๐ฉ๐ถ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ 3 ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐จ๐ข๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ฆ๐ฅ๐ช๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ข๐จ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ช๐ต๐ถ ๐ด๐ฆ๐ต๐ช๐ข๐ฑ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช.โ
Selain bis-bis untuk angkutan manusia, mobil angkutan barang juga sudah tumbuh pesat. โ๐๐ฆ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฐ๐ต๐ฐ-๐ฐ๐ต๐ฐ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ต๐ซ๐ข๐ณ ๐ฌ๐ฆ๐ด๐ฆ๐จ๐ข๐ญ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ถ๐ณ๐ถ ๐ฅ๐ช ๐๐ถ๐ฎ๐ข๐ต๐ฆ๐ณ๐ข ๐๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฉ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐ซ๐ข๐ช ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ 6037 ๐ฌ๐ฎ 880 ๐ฌ๐ฎ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐๐ฆ๐จ๐ข๐ณ๐ข, 2188 ๐ฌ๐ฎ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐๐ณ๐ฐ๐ฑ๐ช๐ฏ๐ด๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ 2968 ๐ฌ๐ฎ๐ฐ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ฑ๐ข๐ต๐ฆ๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฃ๐ถ ๐ฌ๐ช๐ญ๐ฐ๐ฎ๐ฆ๐ต๐ฆ๐ณ ๐ญ๐ข๐จ๐ช ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ธ๐ช๐ญ๐ข๐ซ๐ข๐ฉ, ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ต๐ช ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ต๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ข๐ต๐ข๐ด, ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ถ๐ญ๐ถ๐ฉ-๐ฑ๐ถ๐ญ๐ถ๐ฉ ๐ญ๐ข๐จ๐ช ๐ฐ๐ต๐ฐ, ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ถ๐ต๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐จ๐ฆ๐ณ๐ข๐ฌ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ด๐ข๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต ๐ฌ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐ญ๐ข๐ช๐ฏ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ซ๐ฆ๐ฅ๐ช๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ข๐จ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ช๐ต๐ถ ๐ด๐ฆ๐ต๐ช๐ข๐ฑ ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช.โ
Namun, sekalipun telah ada bus dan kereta api sebagai angkutan massal yang semakin popuer dan ramai, masyarakat tampaknya tidak serta merta meninggalkan bendi, sekalipun yang terakhir ini jauh kalah kencang. Sampai tahun 1950, bendi masih menjadi salah satu moda transportasi utama yang belum kalah bersaing dengan mobil/bus dan kereta api. Orang-orang masih menggunakan bendi sebagai alat angkutan yang populer sekalipun tidak lagi untuk perjalanan-perjalanan jarak jauh. Bendi digunakan untuk sarana angkutan jarak pendek antara satu kampung dengan kampung lain, dari pekan ke pedan, dan sebagai angkutan dalam kota, karena sejauh ini angkutan pedesaan (angdes) dan angkutan perkotaan (angkot) belum banyak diadakan pemerintah. Di samping ada juga bendi digunakan untuk sarana transportasi antar kota, tetapi itu hanya untuk kota-kota yang berjarak dekat, semisal antara Bukittingi dan Payakumbuh pada kurun ini masih ditemui orang naik bendi.
Sepanjang jalan dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Payakumbuh, jalan raya masih diramaikan oleh sarana transportasi modern dan tradisional. Keluarga Tjahaja, yang membawa anak-anaknya melancong ke Minangkabau pada 1950 menulis: Perjalanan Padang-Payakumbuh pada 1950, โ๐๐ฐ๐ฃ๐ช๐ญ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ต๐ซ๐ข๐ณ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ถ๐ฅ๐ซ๐ถ ๐ฌ๐ฆ ๐๐ต๐ข๐ณ๐ข, ๐ด๐ข๐ฎ๐ฃ๐ช๐ญ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฉ๐ถ๐ญ๐ถ๐ช ๐ฃ๐ช๐ด2, ๐ฑ๐ฆ๐ฅ๐ข๐ต๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ข๐ถ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฎ๐ข๐ฏ2.” Kadang-kadang orang-orang masih memilih naik bendi untuk perjalanan sejauh Bukittinggi-Payakumbuh atau sebaliknya. Seperti keluarga Tjahaja yang berjalan-jalan untuk berbelanja ke Bukittinggi. Perjalanan dari Payakumbuh mereka menggunakan mobil, tetapi ketika akan pulang ke Payakumbuh, mereka lebih memilih menyewa bendi. โDengan dua deleman mereka pulang membawa pembelian itu.โ
Pemandangan di depan sebuah rumah gadang pada 1950: โ๐๐ฆ๐ณ๐ฉ๐ข๐ฅ๐ข๐ฑ2-๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ณ๐ถ๐ฎ๐ข๐ฉ ๐จ๐ข๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ช๐ณ๐ข2 ๐ฅ๐ซ๐ข๐ณ๐ข๐ฌ 10 ๐ฅ๐ฆ๐ฑ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ต ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ช 5 ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ, ๐ฎ๐ถ๐ญ๐ข๐ช ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ช๐ฏ๐ฅ๐ข : โ๐ด๐ช๐ต๐ช๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ข๐ถ ๐ญ๐ข๐ถ๐ตโ, ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ2 ๐ฃ๐ช๐ข๐ด๐ข, ๐ด๐ข๐ฎ๐ฑ๐ข๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข โ๐ฌ๐ฐ๐ฑ๐ถ๐ฆ๐ฌโ, ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐จ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฌ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ฆ๐ฌ. ๐๐ถ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข ๐ญ๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ด๐ช๐ต๐ช๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ข๐ถ ๐ญ๐ข๐ถ๐ต ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ด๐ข๐ณ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ต๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช ๐ช๐ต๐ถ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ฆ๐ฏ๐ถ๐ฉ, ๐ฌ๐ข๐ณ๐ฆ๐ฏ๐ข ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ช๐ฏ๐ซ๐ข ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ข๐ฑ ๐ฌ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ข๐ณ, ๐ฃ๐ช๐ข๐ณ๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฆ๐ฏ. ๐๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ฅ๐ซ๐ถ๐ต๐ฏ๐ซ๐ข ๐ฌ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฉ๐ข๐ต๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ถ๐ฅ๐ซ๐ถ๐ฏ๐จ ๐ฉ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏโฆ.โ
Dalam keluarga Minangkabau, pada 1950, bendi juga masih menjadi bagian berharga. Pada sebuah keluarga di Payakumbuh, misalnya, bendi menjadi salah satu kekayaan yang diwariskan sebagai harta pusaka kaum. Limbak Tjahaja menulis: โ๐๐ฆ๐ฃ๐ข๐จ๐ข๐ช ๐๐ฆ๐ฏ๐จ๐ถ๐ญ๐ถ ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ข ๐ด๐ช ๐๐ฎ๐ณ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ต ๐ฉ๐ข๐ณ๐ต๐ข ๐ฑ๐ถ๐ด๐ข๐ฌ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ถ๐ฑ๐ข ๐ด๐ข๐ธ๐ข๐ฉ 1/2 ๐๐, ๐ฑ๐ฐ๐ฉ๐ฐ๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฑ๐ข 50 ๐ฃ๐ข๐ต๐ข๐ฏ๐จ, ๐ฌ๐ถ๐ฅ๐ข 1 ๐ฆ๐ฌ๐ฐ๐ณ, ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ข๐ฉ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ข๐ถ 5 ๐ฆ๐ฌ๐ฐ๐ณ.โ
Pada kurun itu juga, bendi yang tradisional masih disandingkan penyebutannya dengan mobil sebagai wakil dari dunia modern, keduanya dikesankan mewakili dunia โmasa kiniโ.
โ๐๐ข๐ฌ๐ต๐ถ ๐๐ซ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ข๐ด๐ช๐ฉ ๐ฌ๐ข๐ฏ๐ข๐ฌ2, ๐ฌ๐ข๐ต๐ข ๐๐ซ๐ข๐ฉ, ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ2 ๐ฅ๐ช๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ช๐ฑ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฉ๐ข๐ณ๐ข ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ข๐ฏ๐ข๐ฌ ๐ฏ๐ฆ๐จ๐ฆ๐ณ๐ช ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช๐ณ๐ช, ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ฏ๐ข๐ฎ๐ข๐ช โ๐ฅ๐ช๐ฏ๐ข๐ด ๐ณ๐ฐ๐ฅ๐ชโ. ๐๐ช๐ข๐ฑ2 ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ญ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฌ๐ช ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ฆ๐ธ๐ข๐ด๐ข ๐ฅ๐ช๐ธ๐ข๐ฅ๐ซ๐ช๐ฃ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฃ๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข ๐ช๐ฏ๐ช 26 ๐ฉ๐ข๐ณ๐ช ๐ด๐ฆ๐ต๐ข๐ฉ๐ถ๐ฏ. ๐๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข ๐ช๐ต๐ถ ๐ฃ๐ฆ๐ณ-๐ด๐ข๐ฎ๐ข2 ๐ฅ๐ข๐ญ๐ข๐ฎ ๐ณ๐ฐ๐ฎ๐ฃ๐ฐ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ. ๐๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ต๐ช๐ข๐ฑ2 ๐ฌ๐ฎ ๐ฃ๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข 12 ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข ๐ด๐ฆ๐ฎ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ถ. ๐๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ๐ฏ๐ซ๐ข ๐ช๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ ๐ญ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ2 ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฌ๐ช๐ญ, ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ด๐ช๐ฉ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ต๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฌ ๐ด๐ฆ๐ญ๐ฐ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ข๐ช๐ณ. ๐๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฌ๐ข ๐ฃ๐ฆ๐ฌ๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ซ๐ข ๐ช๐ต๐ถ ๐ฅ๐ช๐ฎ๐ข๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ณ๐ช ๐ฐ๐ญ๐ฆ๐ฉ ๐ฌ๐ฆ๐ฑ๐ข๐ญ๐ข ๐ฌ๐ข๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฏ๐จ. ๐๐ข๐ฌ๐ต๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ ๐๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ถ๐ข ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ฆ๐ญ๐ถ๐ข๐ณ๐จ๐ข ๐๐ฏ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐จ ๐๐ซ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ข๐ญ ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข ๐ต๐ฆ๐ณ๐ต๐ช๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฏ ๐ฃ๐ข๐ต๐ถ ๐จ๐ถ๐ฏ๐ถ๐ฏ๐จ. ๐๐ข๐ฏ๐ซ๐ข๐ฌ ๐ฑ๐ถ๐ญ๐ข ๐ฐ๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ข๐ฌ๐ช๐ต ๐ด๐ฆ๐ฑ๐ถ๐ญ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ณ๐ฐ๐ฅ๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ข๐ต ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ.โ
โ๐๐ช๐ต๐ข ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ฌ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฌ2 ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข๐ณ๐ข๐ช ๐ฎ๐ฐ๐ฃ๐ช๐ญ ๐ข๐ต๐ข๐ถ ๐ฅ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฎ๐ข๐ฏ ๐ญ๐ถ๐ฑ๐ข ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐จ๐ถ๐ฏ๐ข ๐ฏ๐ฆ๐ฏ๐ฆ๐ฌ ๐ฎ๐ฐ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข, ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฐ๐ณ๐ฃ๐ข๐ฏ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ซ๐ช๐ธ๐ข ๐ณ๐ข๐จ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข. ๐๐ข๐ญ๐ข๐ฉ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฎ๐ข๐ญ๐ข๐ด ๐ฑ๐ถ๐ญ๐ข ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ช๐ฉ๐ข๐ณ๐ข ๐ฅ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ช๐ต๐ถ.โ
Namun, kondisi itu tampaknya hanya berlangsung hingga akhir 1950an. Sempat terhenti akibat PRRI, namun setelah pergolakan, bendi tumbuh lagi dengan pesat di Payakumbuh. Tetapi pertumbuhan kembali itu tidak berlansung lama. Pada dekade 1960an hadir lebih banyak minibus (dengan muatan 20an orang) yang melayani rute dari pekan ke pekan (dari pasar ke pasar), rute yang sebelumnya nyaris sepenuhnya dikuasai bendi. Sementara untuk rute jarah jauh antar-kota, semisal dari Payakumbuh ke Bukittingi atau sebaliknya, tersedia kereta api dan sedikit bus serupa โAtomโ, โPuslaโ, dan โSinamarโ. Dengan hadirnya minibus-minibus itu, bendi perlahan-lahan mulai berkurang, untuk tidak mengatakan lenyap dari jalan raya.
Memasuki tahun 1970an zaman menjadi tidak berpihak lagi kepadanya. Seiring pertumbuhan kota-kota modern dan semakin pesatnya perusahaan otobus, kuda-bendi terdepak lebih jauh lagi: kuda-bendi mengganggu keindahan kota karena kotorannya, dan mungkin juga karena keudikannya yang kontradiktif dengan โpembangunanโ yang tengah hingar-bingar dicanangkan. Trayek untuk bendi semakin dipersempit, bahkan telah dimulai sejak awal 1970an.
Aneka Minang pada Februari tahun 1972 melaporkan, bahwa โ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช-๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ด๐ถ๐ฅ๐ข๐ฉ ๐ญ๐ฆ๐ฏ๐บ๐ข๐ฑ ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ซ๐ข๐ณ๐ช๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ณ๐ข๐บ๐ข ๐ฅ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ๐ข๐ฉ ๐๐ช๐ฏ๐ข๐ฏ๐จ. ๐๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ฌ๐ช๐ข๐ฏ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฅ๐ฆ๐ด๐ข๐ฌ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ข๐ฌ๐ช๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ณ๐ข๐ด๐ฏ๐บ๐ข ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ช๐ฏ๐ท๐ข๐ด๐ช ๐ฃ๐ฆ๐ฎ๐ฐ, ๐ต๐ณ๐ถ๐ฎ ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฐ๐ฑ๐ญ๐ฆ๐ต.โ
Sementara di kota Payakumbuh yang terkenal sebagai kota โ๐ด๐ช๐ฅ๐ฐ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฌโ di samping kota gelamai, ruang gerak bendi telah pula diciutkan. Pusat kota dinyatakan sebagai zona DBB atau daerah bebas bendi. Alasannya menurut pihak Balai Kota, demi ketertiban lalu lintas dan keindahan kota. โ๐๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ข๐ต2 ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ฎ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ญ ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ถ๐ฎ๐ถ๐ฎ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ฐ๐ณ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ซ๐ฐ๐ณ๐ฐ๐ฌ ๐ฅ๐ช๐จ๐ฆ๐ด๐ฆ๐ณ ๐ฌ๐ฆ ๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ, ๐ด๐ฆ๐ฅ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ถ๐ด๐ข๐ต ๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข ๐ต๐ข๐ฃ๐ถ ๐ฅ๐ช๐ต๐ฆ๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ฉ ๐ฌ๐ถ๐ฅ๐ข2 ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ข๐ณ๐ช๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช. ๐๐ฆ๐ค๐ข2 ๐ฎ๐ถ๐ญ๐ข๐ช ๐ฎ๐ฆ๐ณ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ต ๐ฑ๐ข๐ด๐ข๐ณ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ข๐จ๐ข๐ช ๐ข๐ญ๐ข๐ต ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ๐จ๐ฌ๐ถ๐ต ๐ฃ๐ข๐ณ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฅ๐ช๐ฌ๐ฐ๐ต๐ข๐ฎ๐ข๐ฅ๐บ๐ข ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฃ๐ถ๐ฏ๐จ๐ด๐ถ ๐ต๐ด๐ฃ. ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ด๐ฆ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข ๐ช๐ฏ๐ช ๐ฅ๐ช๐ฅ๐ฐ๐ฎ๐ช๐ฏ๐ช๐ด ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ข ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐จ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ฃ๐ข๐ฌ ๐ด๐ฐ๐ณ๐ฐ๐ฏ๐จ,โ demikian dilaporkan Aneka Minang.
Fungsinya bukan lagi sebagai alat transportasi manusia, tetapi telah mendapatkan nilai baru sebatas sebagai โ๐ฎ๐ถ๐ด๐ฆ๐ถ๐ฎ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏโ dalam agenda pendukung pariwisata yang dikembangkan pemerintah kota/daerah. Jalan ke arah itu telah dimulai sekira pada awal 1972.
Aneka Minang pada tahun itu melaporkan: โ๐๐ฆ๐ซ๐ข๐ญ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐๐ถ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ณ ๐ด๐ฆ๐ฃ๐ข๐จ๐ข๐ช ๐ฅ๐ข๐ฆ๐ณ๐ข๐ฉ ๐ฑ๐ข๐ณ๐ช๐ธ๐ช๐ด๐ข๐ต๐ข, ๐ข๐ฅ๐ข ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฎ๐ฆ-๐ฏ๐บ๐ฆ๐ฃ๐ถ๐ต2 ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ถ๐ฏ๐ต๐ถ๐ฌ ๐ต๐ถ๐ณ๐ช๐ด. ๐๐ช๐ฑ๐ฆ๐ณ๐ฌ๐ช๐ณ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฑ๐ข๐ณ๐ข ๐ต๐ถ๐ณ๐ช๐ด ๐ข๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ฏ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฃ๐ฆ๐ณ-๐ด๐ช๐จ๐ฉ๐ต ๐ด๐ฆ๐ฆ๐ช๐ฏ๐จ ๐ฏ๐ข๐ช๐ฌ ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฑ๐ข๐ฅ๐ข ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐ต๐ข๐น๐ช. ๐๐ฆ๐ฏ๐ต๐ถ ๐ฌ๐ฐ๐ฏ๐ด๐ต๐ณ๐ถ๐ฌ๐ด๐ช ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ฑ๐ข๐ฏ๐ฏ๐บ๐ข ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ด๐ถ๐ข๐ช๐ฌ๐ข๐ฏ ๐ฎ๐ฆ๐ฏ๐ถ๐ณ๐ถ๐ต ๐ด๐ฆ๐ญ๐ฆ๐ณ๐ข ๐ฑ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฏ๐ค๐ฐ๐ฏ๐จ. ๐๐ถ๐ฅ๐ข2 ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ช๐ฌ๐ถ๐ต ๐ฑ๐ข๐ณ๐ข ๐ฌ๐ถ๐ด๐ช๐ณ๐ฏ๐บ๐ข ๐ต๐ฆ๐ฏ๐ต๐ถ ๐ซ๐ถ๐จ๐ข ๐ฉ๐ข๐ณ๐ถ๐ด ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐บ๐ข๐ฏ๐จ ๐ต๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ช๐ญ๐ช๐ฉ.
โ๐๐ช๐ฅ๐ข๐ฌ ๐ญ๐ข๐ฎ๐ข ๐ญ๐ข๐จ๐ช ๐ฌ๐ฆ๐ฎ๐ถ๐ฏ๐จ๐ฌ๐ช๐ฏ๐ข๐ฏ ๐ฌ๐ช๐ต๐ข ๐ฅ๐ข๐ฑ๐ข๐ต ๐ฎ๐ฆ๐ญ๐ช๐ข๐ต ๐ฃ๐ฆ๐ฏ๐ฅ๐ช2 ๐ต๐ถ๐ณ๐ช๐ด ๐ฅ๐ฆ๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ ๐๐ข๐ต ๐๐ถ๐ด๐ช๐ณ ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฑ๐ข๐ฌ๐ข๐ช๐ข๐ฏ ๐ด๐ฆ๐ณ๐ข๐จ๐ข๐ฎ ๐ฑ๐ฆ๐จ๐ข๐ฏ๐จ ๐ค๐ข๐ฎ๐ฃ๐ถ๐ฌ ๐ถ๐ฏ๐ช๐ฌ ๐ฅ๐ช๐ต๐ข๐ฏ๐จ๐ข๐ฏ, ๐ฃ๐ฆ๐ณ๐ฐ๐ญ๐ข๐ฌ-๐ฐ๐ญ๐ข๐ช ๐ฅ๐ช๐ด๐ฆ๐ฑ๐ข๐ฏ๐ซ๐ข๐ฏ๐จ ๐ฑ๐ช๐ฏ๐จ๐จ๐ช๐ณ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ข๐ฏ๐ข๐ถ ๐๐ช๐ฏ๐จ๐ฌ๐ข๐ณ๐ข๐ฌ ๐ฎ๐ข๐ถ๐ฑ๐ถ๐ฏ ๐ฅ๐ช ๐๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ฉ ๐๐ข๐ณ๐ข๐ถ ๐ฎ๐ฆ๐ฎ๐ฃ๐ข๐ธ๐ข ๐ฎ๐ข๐ฏ๐ถ๐ด๐ช๐ข2 ๐ฅ๐ข๐ณ๐ช ๐ฃ๐ฆ๐ญ๐ข๐ฉ๐ข๐ฏ ๐ฅ๐ถ๐ฏ๐ช๐ข ๐ด๐ข๐ฏ๐ข.โ