Padang – Isu sertifikasi tanah ulayat kembali menuai pro dan kontra di Sumatera Barat. Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMMI) Sumbar secara tegas menyatakan sikap: mendukung perlindungan terhadap hak adat, namun menolak segala bentuk intervensi berlebihan yang justru mengancam nilai dan kedaulatan adat Minangkabau.
Sekretaris Umum SEMMI Sumbar, Roby Hasan, menegaskan bahwa Sumatera Barat saat ini memiliki dasar hukum kuat melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat, yang mengakui kekhususan daerah berdasarkan adat dan budaya. “Ini adalah anugerah besar bagi masyarakat Minangkabau. Harus dijaga, bukan diintervensi secara serampangan. Ini hadiah untuk anak cucu kita,” ujar Roby.
Pemerintah pusat telah mulai menerapkan kebijakan sertifikasi tanah ulayat melalui regulasi seperti Peraturan UU NO 5 1960, Permenag No 5 1999, Permenag ATR no 9 2014, Permen ATR No 10 2016, Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2019 dan Nomor 18 Tahun 2021 dan yang terbaru Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 dengan regulasi yang panjang dan tujuan mulia: memberi kepastian hukum, melindungi hak masyarakat adat, dan mencegah konflik lahan.
Namun, gelombang penolakan muncul dari kalangan adat, termasuk Forum Datuak dan Ninik Mamak Limbago Alam Minangkabau, yang khawatir bahwa sertifikasi justru akan menggerus nilai, struktur, dan otoritas adat yang selama ini menjadi fondasi masyarakat Minang.
SEMMI Sumbar pun mengajukan beberapa pertanyaan krusial:
Bukankah sertifikasi justru untuk memperkuat hak adat, bukan menghapusnya?
Apakah seluruh kaum adat hari ini masih memiliki tanah ulayat yang utuh?
Apakah persoalan antar kaum adat dapat diselesaikan damai tanpa hukum negara?
Bagaimana jika oknum Ninik mamak menjual tanah ulayat tanpa musyawarah?
Apakah keterlibatan negara justru diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan tanah adat?
“Tanah ulayat adalah milik komunal yang dikelola secara kolektif oleh kaum adat melalui musyawarah mufakat. Jika memang sertifikasi ini untuk melindungi, maka pendekatan pemerintah harus bersifat inklusif dan partisipatif, bukan sepihak,” tegas Roby.
SEMMI Sumbar menilai bahwa pemerintah pusat dan daerah perlu membuka ruang dialog terbuka dengan para pemangku adat — Datuak, Ninik mamak, dan alim ulama — agar kebijakan ini tidak justru menimbulkan konflik baru.
“Jika aturan ini benar-benar untuk memperjelas batas kepemilikan kaum, bukan untuk memecah belah atau mengalihkan kepemilikan secara individu, maka kami dari semmi mendukung penuh kebijaksanaan sertifikasi tanah ulayat ,” tutup Roby.
SEMMI Sumbar berdiri pada posisi tengah: mendukung penguatan hak adat melalui regulasi yang tepat, namun menolak setiap kebijakan yang berpotensi mengikis identitas dan struktur adat Minangkabau.